Sosbud

Tiga Batak Di Balik Pembangunan Masjid Istiqlal

Masa pembangunan masjid istiqlal

Ada banyak orang bermarga Sijabat di kalangan keturunan Batak di Indonesia. Tapi hanya ada satu Sijabat yang punya panggilan 'Sijabat par Istiqlal' atau Sijabat dari Istiqlal. Dialah Hasiholan Reguel Sidjabat atau biasa disingkat HR Sidjabat.

Sepanjang kariernya sebagai insinyur sipil dan ahli struktur beton, proyek pembangunan Masjid Istiqlal memang punya tempat tersendiri bagi Sidjabat. Itulah proyek besar pertama yang digarap oleh pemuda Sidjabat setelah lulus dari Jurusan Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung pada 1962. Selama sepuluh tahun, dari 1962 hingga meninggalkan Istiqlal pada 1972 lantaran melanjutkan sekolah, dia bekerja siang-malam untuk proyek tersebut.

"Setiap kali melintas di depan Masjid Istiqlal, saya perlambat laju kendaraan saya dan menoleh. Kutunjuk kubahnya sambil berujar bangga, 'Itu adalah buah pikiran dan karya abangku, anak Opa Rusti Sidjabat dari Desa Tomok'," kata Nesti Sidjabat, adik kandung HR Sidjabat. Friedrich Silaban memang yang jadi arsitek Masjid Istiqlal. Namun, saat pembangunannya, butuh insinyur-insinyur teknik sipil seperti Prof Roosseno Soerjohadikoesoemo, HR Sidjabat, juga Johan Hasiholan Simanjuntak.

Saat Istiqlal dan sejumlah proyek besar di Jakarta mulai dibangun, Presiden Sukarno meminta Roosseno menjadi pengawasnya. Roosseno pernah menjabat beberapa posisi menteri pada 1950-an dan guru besar Teknik Sipil di almamaternya, Institut Teknologi Bandung (ITB). Bukan cuma itu, Bung Karno kenal sangat baik Roosseno, adik kelasnya di ITB. Mereka pernah bersama mendirikan kantor konsultan di Bandung pada 1930-an. Sidjabat dan Simanjuntak adalah murid-murid terpandai Roosseno di ITB.

Saat Roosseno memintanya bergabung dengan proyek Istiqlal pada 1962, menurut Sonya Marintan Sidjabat, putri kedua HR Sidjabat, sebenarnya ayahnya sudah bekerja di Kementerian Pekerjaan Umum. HR Sidjabat ditugaskan sebagai Kepala Cabang Perusahaan Negara Indah Karya di Jakarta. Kedua orang ini, Roosseno dan ayahnya, kata Merry Pinta Sidjabat, anak keempat Reguel Sidjabat, memang sangat cocok. Sama-sama pintar dan sama-sama pekerja keras. "Ayah saya kalau menghitung cepat sekali. Saya, anaknya, susah sekali mengikuti," dia menuturkan diiringi tawanya berderai, pekan lalu. Di proyek pembangunan Masjid Istiqlal, HR Sidjabat ditunjuk sebagai Direktur Teknis.

Tak lama setelah bergabung dengan Proyek Istiqlal, Sidjabat mengakhiri masa lajangnya. Dia dijodohkan dengan Roselina Mariani Sinaga. Oleh Sidjabat, istrinya segera diboyong ke perkampungan Proyek Istiqlal. "Kami berempat dilahirkan di perkampungan Istiqlal," kata Relinda Rotua, putri sulung Sidjabat. Di perkampungan kecil itu, ada sekitar sepuluh rumah yang dihuni keluarga pimpinan proyek seperti Sidjabat.

Relinda, yang melewatkan masa kecil di Proyek Istiqlal, masih ingat bagaimana suasana hiruk-pikuk proyek besar itu. "Kalau tak ketahuan Bapak, kami suka bermain di lokasi proyek," kata Relinda. Hari-hari itu, bapaknya sangat sibuk. Sidjabat bertanggung jawab atas semua urusan teknik, terutama perhitungan struktur Masjid Istiqlal. Seperti yang diangan-angankan Bung Karno, Masjid Istiqlal merupakan bangunan beton yang sangat besar pada masa itu. Struktur beton adalah keahlian Roosseno, HR Sidjabat, juga Johan Simanjuntak.  "Setiap hari Bapak bekerja dari pagi hingga larut malam."

Reguel Sidjabat lahir di Desa Tomok, pesisir timur Pulau Samosir di tengah Danau Toba, Sumatera Utara, pada 17 Agustus 1936. Ayahnya, seorang pedagang kerbau, tak seberapa kaya. Mereka hidup sedehana. Tapi Reguel, anak keempat Ephraem Sidjabat, sejak kecil punya cita-cita tinggi. Dia sangat mengagumi Sukarno. "Saya mau seperti dia," Sidjabat mengangankan masa depannya. Demi mengejar cita-citanya menjadi insinyur seperti Bung Karno, Reguel sudah tinggal berpisah dari kedua orang tua sejak sekolah menengah lantaran harus bersekolah di luar Pulau Samosir. 

Selepas SMA di Medan, Sidjabat dan seorang temannya berangkat ke Pulau Jawa. Mereka sempat mendaftar dan diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB). Namun Sidjabat, yang ingin seperti Sukarno, merasa tak cocok dengan ilmu pertanian. "Bapak orang desa, sudah biasa melihat lahan pertanian," kata Sherry, putri ketiga Sidjabat. Dia pergi ke Bandung dan diterima di Teknik Sipil ITB. Di kampus itulah Sidjabat berkenalan dengan Prof Roosseno, dosennya yang dikenal sangat disiplin dan sangat 'kejam' saat memberikan nilai kepada mahasiswa-mahasiswanya. Dosen 'killer' itulah yang membawa Sidjabat ke proyek Istiqlal.

Organisasi proyek pembangunan Masjid Istiqlal sebenarnya tak seberapa rumit. Di lapangan, menurut Setiadi Sopandi, arsitek dan penulis biografi Friedrich Silaban, ada tiga bagian besar kelompok kerja. Bagian perancangan yang bertanggung jawab atas semua gambar detail arsitektur Istiqlal dipimpin langsung oleh Friedrich Silaban dibantu tim dari Perusahaan Negara Virama Karya.

Bagian kedua bertanggung jawab atas perhitungan struktur dipimpin Roosseno dan HR Sidjabat bersama tim dari PN Indah Karya. Bagian terakhir, pekerjaan konstruksi ditangani oleh Perusahaan Negara Adhi Karya. Di PN Adhi Karya, Johan Simanjuntak menjabat Direktur Teknik.

Salah satu bagian pekerjaan paling sulit dan rumit dari Proyek Istiqlal adalah penggarapan bagian kubah besarnya yang berdiameter 45 meter dan berada pada ketinggian 35 meter dari atas tanah. "Silaban mengusulkan kubah itu dibangun mengikuti model cangkang telur," kata Setiadi. Artinya, kekuatan dari kubah itu bersandar pada bagian cangkang kubah beton itu sendiri, tanpa perlu ada jari-jari sebagai kerangka penyangganya.

Masalahnya, saat itu belum ada kubah beton sebesar dan seberat itu pernah dibangun di Indonesia. Tak ada satu pun insinyur Indonesia punya pengalaman membangun kubah beton sebesar itu. Tak hanya soal bagaimana menghitung kekuatannya, tapi juga bagaimana metode pengecoran kubah raksasa itu?

Walhasil, Panitia Pembangunan Masjid Istiqlal mengutus dua bersahabat keturunan Batak, HR Sidjabat dan Johan Simanjuntak, berangkat ke Eropa. Selama sebulan, mereka berkeliling menemui ahli-ahli struktur bangunan dan perusahaan fabrikasi beton yang punya kemampuan maupun pengalaman membuat kubah beton sebesar dan seberat itu.

Setelah menyimak hasil perjalanan HR Sidjabat dan Johan Simanjuntak dari Eropa, Panitia Proyek Istiqlal memutuskan memakai metode polihedron untuk membangun kubah masjid nasional tersebut. Dua jago struktur bangunan dari Technische Universitat Darmstadt, Jerman Barat, Walther Mann dan Helmut Emde, dipercaya merancang dan menghitung kestabilan kubah polihedron Istiqlal. Untuk urusan fabrikasi panel-panel polihedron kubah, ditunjuk perusahaan Jerman, MERO TSK International Gmbh.

Bertahun-tahun bekerja bersama untuk Proyek Istiqlal membuat Sidjabat makin akrab dengan teman kuliahnya di ITB, Johan Simanjuntak. "Pak Simanjuntak adalah soulmate Bapak hingga akhir hayatnya," Sonya menuturkan. Bahkan setelah tak lagi di Proyek Istiqlal, hubungan keduanya makin erat. Reguel Sidjabat terus berkarier di perusahaan negara dan Kementerian Pekerjaan Umum hingga pensiun, sementara Johan Simanjuntak menjadi pengusaha fabrikasi beton. "Saking dekatnya hubungan mereka, belum pernah satu pagi pun dilalui Bapak tanpa sapaan telepon dari Pak Simanjuntak."

Lantaran begitu sering berhubungan, Sidjabat makin dekat pula dengan dua idolanya, Roosseno dan Friedrich Silaban. Bahkan sang profesor, Roosseno,-lah tamu yang datang pertama dan pulang terakhir ketika Sidjabat menikahkan putrinya. Lewat Roosseno pula, Reguel Sidjabat, pemuda dari Pulau Samosir itu, akhirnya bisa bertemu dan bersalaman pertama kalinya dengan idola masa kecilnya, Presiden Sukarno. "Saat pertama kali bertemu Presiden Sukarno di Istana, katanya Bapak gemetar," ujar si sulung Relinda. Sejak saat itu, Sidjabat makin sering bertamu ke Istana bersama Roosseno untuk melaporkan perkembangan proyek Istiqlal.

Silaban, Sidjabat, dan Simanjuntak. Mereka tiga orang Batak dan nonmuslim, tapi bekerja sepenuh hati untuk pembangunan Masjid Istiqlal. "Itulah hebatnya Presiden Sukarno. Untuk kemajuan Indonesia, beliau tidak peduli dengan suku, agama, atau ras seseorang," kata putri-putri Sidjabat.

Bagi Friedrich Silaban, Masjid Istiqlal merupakan salah satu karyanya yang paling istimewa. Istiqlal, bagi Friedrich, memang sudah seperti anaknya. Dia memenangi sayembara desain Masjid Istiqlal pada Juli 1955 dengan mengalahkan 21 peserta lainnya. Namun ‘Masjid Merdeka’ itu baru mulai dibangun enam tahun kemudian dan baru diresmikan oleh Presiden Soeharto hampir 17 tahun setelah pencanangan dimulainya proyek.

Selama itu pula, melewati segala macam kekalutan politik dan keuangan, Friedrich terus mendampingi pembangunan proyek Masjid Istiqlal hingga tuntas. "Bahkan sampai beliau di kursi roda pun masih datang ke Istiqlal," kata Setiadi Sopandi, penulis buku biografi F Silaban, beberapa hari lalu. Saat rezim Sukarno turun dan digantikan oleh Soeharto, Silaban sempat cemas pula dengan nasibnya. Bagaimanapun, dia lumayan dekat dengan Bung Karno. 

Tapi, saat terjadi 'pembersihan' di tubuh Panitia Proyek Istiqlal selama dua kali, yakni pada 1966 dan 1968, posisi Silaban tetap tak tergantikan. Ketika rezim berganti, Masjid Istiqlal baru setengah jadi. Bagaimana nasib proyek pembangunan masjid nasional itu sangat bergantung pada presiden baru, yakni Soeharto. Makanya Silaban sangat senang saat bertemu dengan Presiden Soeharto suatu hari pada akhir 1960-an. Friedrich Silaban hari itu menepati janjinya. Begitu bertemu dengan Presiden Soeharto, dia langsung menekuk lutut dan bersujud. Friedrich berniat mencium kaki Presiden Soeharto. Tingkah arsitek kondang itu membuat Presiden jadi serbasalah dan salah tingkah.


Sembari berusaha mencegah tindakan Friedrich, Presiden Soeharto berkata, “Jangan kultus individu!” Namun sang arsitek tak peduli dan terus melanjutkan niatnya mencium kaki Soeharto. Saat itu Presiden baru saja menyampaikan kabar gembira kepada Friedrich. Proyek masjid akbar Istiqlal yang sempat terhenti pembangunannya akan dilanjutkan oleh pemerintah.

Presiden juga menjamin bahwa rancangan Masjid Istiqlal tak akan diutak-atik, berikut desain kubah besarnya. “Saya meminta kepada Presiden Soeharto agar soal kubah ini tak ditawar-tawar,” Friedrich menuturkan kepada majalah Tempo pada 1970-an. Kubah yang ukurannya sangat masif pada masa itu memang menjadi penanda istimewa dari Masjid Istiqlal.

Menurut Setiadi, Presiden Soeharto memang tak banyak mengintervensi proyek Masjid Istiqlal. Soeharto tak seperti Sukarno, yang seorang insinyur dan sangat paham soal bangunan, tak banyak meminta dan mengatur. Hanya ada satu hal kecil yang diminta Presiden Soeharto. Friedrich mengusulkan agar lantai Masjid Istiqlal menggunakan lantai teraso. Selain murah dan bisa dipoles sampai mengkilap, lantai teraso porinya sangat kecil sehingga relatif mudah dirawat.

"Tapi Presiden Soeharto ingin lantai Masjid Istiqlal dari marmer," kata Setiadi. Marmer memang dianggap melambangkan kemegahan dan kemewahan. Awalnya Presiden Soeharto  ingin mendatangkan marmer langsung dari Italia, namun harganya sangat mahal. Walhasil, dipakailah marmer lokal dari tambang marmer di tiga tempat: Citatah, Tulungagung, dan Makassar.

Sumber : Detik


[Ikuti Wawasanriau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar