Pacu Jalur : Saat Budaya Menyapa Dunia Lewat Cara Tak Terduga

Kuansing, WawasanRiau.com- Beberapa hari terakhir, media sosial diramaikan oleh sosok Dhika, seorang anak dari Kuantan Singingi, Riau, yang menari dengan penuh semangat di ujung perahu pacu jalur. Tanpa diduga, aksinya menyita perhatian publik, bahkan hingga ke luar negeri. Banyak yang menyebutnya unik, karismatik, bahkan penuh "aura". Tak butuh waktu lama, videonya menyebar luas, mengundang kekaguman, dan memberi panggung bagi tradisi Pacu Jalur yang selama ini hanya dikenal oleh sebagian masyarakat lokal.
Fenomena ini menghadirkan sebuah pertanyaan mendalam: mengapa kebudayaan kita baru mendapat sorotan luas setelah terjadi momen viral yang tidak dirancang? Dan apakah kita sudah cukup hadir dalam kerja-kerja pelestarian budaya sebelum itu?
Panggung Budaya yang Muncul Tak Terduga
Pacu Jalur adalah warisan budaya takbenda yang telah diakui secara nasional sejak 2014. Lomba dayung tradisional ini telah berlangsung lebih dari satu abad dan menjadi bagian dari identitas masyarakat Kuantan Singingi. Namun demikian, gaungnya belum sepenuhnya terasa di tingkat nasional, apalagi global. Tak banyak masyarakat luar Riau yang mengenal tradisi ini secara mendalam hingga video Dhika hadir dan menyapa dunia lewat TikTok.
Menariknya, yang membuat budaya ini dikenal bukanlah kampanye resmi atau program promosi pemerintah, melainkan momen spontan yang direkam secara kreatif oleh masyarakat. Musik latar, teknik pengambilan gambar, hingga gaya ekspresi Dhika, semua berpadu menjadi konten yang secara tidak sengaja mengangkat nilai budaya lokal ke tingkat internasional.
Apresiasi yang Patut, Tapi Perlu Diperluas
Langkah cepat pemerintah daerah dalam memberikan penghargaan kepada Dhika patut diapresiasi. Ia diangkat menjadi Duta Pariwisata Riau, diberi beasiswa, dan diberi ruang tampil. Namun dalam euforia tersebut, perlu juga kita ingat bahwa di balik kelestarian budaya ini ada banyak sosok lain: para atlet pacu jalur, pembina jalur, tokoh adat, hingga komunitas yang selama ini merawat tradisi ini dengan penuh dedikasi meskipun tanpa sorotan publik.
Akan lebih bijak jika apresiasi yang diberikan juga menyentuh mereka. Karena budaya, sejatinya, dibangun oleh kolektivitas, bukan semata oleh momen individu yang viral.
Budaya Butuh Ruang Sebelum Viral
Fenomena ini seharusnya menjadi cermin bagi kita semua, khususnya para pemangku kebijakan. Kita diajak untuk melihat bahwa budaya lokal memiliki daya tarik luar biasa jika dikemas dengan baik. Namun ketertarikan itu seharusnya tidak datang hanya saat budaya menjadi bahan perbincangan massal.
Perlu ada strategi pelestarian yang berkelanjutan dan inklusif bukan hanya program tahunan, tetapi sistem pendukung bagi komunitas budaya agar bisa bertumbuh secara mandiri. Dalam era digital ini, dukungan terhadap kreator lokal, edukasi budaya di sekolah, hingga fasilitasi konten kreatif menjadi kebutuhan yang mendesak.
Pesan : Saatnya Hadir Sebelum Ramai
Dhika adalah simbol. Ia menari bukan untuk viral, tapi karena ia tumbuh dalam budaya itu. Ia hadir dengan apa adanya, dan justru dari keaslian itulah budaya kita berbicara kepada dunia. Kita patut berterima kasih padanya, namun jangan berhenti di selebrasi sesaat.
Budaya membutuhkan ruang yang konsisten. Butuh kebijakan yang mendukungnya hidup, bukan hanya tampil saat ramai. Dan kita semua baik pemerintah, masyarakat, maupun pelaku media punya peran untuk memastikan bahwa budaya kita tetap hidup, meski tak selalu trending. **
Tulis Komentar