Sosbud

Kalau Mau Kaya, Jangan Jadi PNS

Pagi ini, tiba-tiba Saya teringat pernyataan Alex Marwata pada saat masih menjabat Wakil Ketua KPK pada 2024. Dalam sebuah konferensi pers tahun tersebut, beliau menyebut bahwa praktik permintaan fee proyek antara 5--15% sudah menjadi hal yang lumrah di banyak instansi pemerintah.

Contohnya di Aceh Tenggara, kontraktor mengeluhkan pungli hingga 30% dari nilai proyek di lingkungan Dinas Pendidikan. Sementara di Kota Semarang, pengusaha lokal mengaku harus menyetor komitmen fee sebesar 13% hanya untuk bisa ikut dalam proyek penunjukan langsung.

Yang lebih menarik, praktik ini tak lagi sembunyi-sembunyi. Ia telah menjadi "tradisi" birokrasi, atau istilah kasarnya sebuah korupsi yang ternormalisasi. Amplop jadi pelumas, tanda tangan jadi komoditas. Administrasi publik tertentu hanya berjalan bila ada harga yang disepakati.

 

Mentalitas Yang Bergeser : Dari Pengabdian ke Perburuan

Masalahnya bukan hanya soal pelanggaran hukum, tapi lunturnya kesadaran bahwa PNS adalah profesi pengabdian, bukan jalan pintas memperkaya diri. Meskipun tidak semua ASN demikian, realitas di lapangan menunjukkan pergeseran nilai yang mencolok.

Banyak ASN, baik di pusat maupun daerah, mulai menjalankan usaha pribadi secara terselubung. Ada yang jadi reseller, ada yang meneruskan bisnis keluarga, bahkan mendirikan perusahaan sendiri atas nama istri atau saudara. Jika usahanya tidak beririsan dengan kewenangan, mungkin masih bisa dimaklumi. Namun saat ada potensi konflik kepentingan dan penyalahgunaan jabatan, maka ini adalah awal kehancuran integritas birokrasi.

 

Kenapa sih ini bisa terjadi?

Jawabannya sederhana namun menusuk:

 

"Teladan itu datang dari atas, bukan dipaksa dari bawah."

 

Apa yang terlihat bersih di permukaan, belum tentu demikian di baliknya. Pimpinan harus memberikan teladan integritas dalam melaksanakan tugasnya. Pemimpin bertanggungjawab atas yang terjadi pada staf dibawahnya. Realitanya, jabatan pimpinan merupakan "given" bagi anak buahnya. sehingga sering terjadi dinamika, masukan baik dari anak buahnya tidak didengar oleh pimpinan. akibatnya, banyak ASN bawah khususnya bagian pelayanan yang bersentuhan langsung dengan perusahaan, vendor, atau kontraktor akhirnya terpaksa mencari celah, menciptakan "situasi negosiasi" dalam penerbitan dokumen perusahaan, perizinan, atau proyek. Jika cara halus tak mempan, cara kasarnya bisa kita bayangkan sendiri. Maka tak heran, jabatan pun bergeser makna: dari amanah menjadi aset. Dari tanggung jawab menjadi alat transaksi.

 

Kita Butuh Doktrin Moral, Bukan Sekadar Regulasi

Jika sejak awal seorang ASN didoktrin dengan moral yang kuat, saya percaya penyimpangan bisa dicegah. Kalimat sederhana seperti ini seharusnya ditanamkan:

 

"Kalau mau kaya, jangan jadi PNS."

 

Bukan untuk mengecilkan profesi ASN, melainkan sebagai filter bagi mereka yang hendak mendaftar. PNS bukan jalan tol menuju kekayaan, melainkan jalan sunyi, jalur lambat, tapi penuh kehormatan bila dijalani dengan ikhlas dan jujur.

 

Bukan Sekedar Harapan :  ASN Harus Kembali ke Marwahnya

 

Kita tidak kekurangan orang pintar. Yang langka hari ini adalah keteladanan. Birokrasi tidak cukup diselamatkan dengan regulasi atau slogan, tapi dengan integritas nyata yang dicontohkan langsung oleh pucuk pimpinan.

 

"PNS tak butuh banyak aturan tambahan, tapi butuh pemimpin yang patut diteladani."

 

Untuk generasi muda yang bercita-cita menjadi ASN, jangan berharap jadi kaya dari profesi ini. Berharaplah hidup berkecukupan, tenang, dan penuh keberkahan karena melayani masyarakat. Jika itu yang dicari, bekerjalah dengan integritas. Kariermu akan lancar, dan harga dirimu tetap utuh. Namun, bila tujuannya kekayaan, lupakan daftar ASN atau siapkan permohonan pengunduran diri dan jadilah pengusaha.


[Ikuti Wawasanriau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar