Sosbud

Ngopi PWI Riau: Pengendalian Karhutla, dari Soal Regulasi Hingga Paradigma

PEKANBARU - Dari Kaliandra Room Graha Pena Riau, seratusan wartawan Riau, Senin (8/4/2018) mengupas carut-marut penanganan kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) bersama dua  narasumber dari Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLH) dan satu pakar dari IPB. Diskusi ini merupakan kegiatan Ngobrol Pintar (Ngopi) yang ditaja PWI Riau mengangkat topik "Perlindungan Ekosistem Gambut dan Pengendalian Karhutla".

PWI Riau mendatangkan narasumber  Sekjen KLHK Bambang Hendroyono, Direktur Pengendalian Karhutla KLHK, Raffles B Panjaitan, dan . Guru Besar IPB Prof Bambang Hero Saharjo. Diskusi yang dimoderati oleh wartawan JPNN, Afni Zulkifli ini berjalan cair, diawali pemaparan oleh ketiga narasumber dan dilanjutkan sesi tanya jawab.

Ketua PWI Riau, Zulmansyah Sekedang dalam pengantarnya menyebut Ngopi PWI Riau ini adalah seri ketiga dari beberapa kegiatan yang ditelurkan pengurus PWI Riau  setelah ada PWI Riau Mengaji dan English Day PWI Riau. Selain itu kata Zum, sapaan karibnya, Ngobrol Pintar dengan tema Karhutla ini sekaligus mendekatkan wartawan Riau dengan narasumber penting soal-soal pengelolaan kehutanan dan kebakaran yang terjadi selama ini.

"Selama ini memang kawan-kawan wartawan agak kesulitan mewawancarai narasumber penting. Kadang bisa sampai berminggu-minggu untuk itu," ungkap Zulmansyah.

 
Pemahaman Tentang Ekosistem Gambut

 Dalam pemaparannya, Sekjen KLHK, Bambang Hendroyono menyebut persoalan penanganan kebakaran hutan sejak dulu sampai sekarang mengalami pasang surut. Problem regulasi adalah hal yang menjadi concern pemerintah untuk mendapatkan payung hukum yang mumpuni agar gerak langkah pihaknya dapat berjalan efektif.

"Tahun 2014 sebenarnya adalah masa transisi , dimana kebakaran ekosistem gambut menjadi sasaran kebakaran dan meluas. Selama ini belum ada pemahamanan yang padu mengenai ekosistem gambut," sebut Hendroyono. Oleh sebab itu katanya penyempurnaan payung hukum terus dilakukan, baik itu UU, Peraturan Pemerintah, maupun Peraturan Menteri.

Disebutkannya, pemerintah dan stakeholders harus sama-sama sepaham bahwa penanganan terpadu ekosistem gambut  adalah kesatuan hidrogis. Dimana ada fungsi lindung, fungsi budidaya, disamping ada lahan non gambut. Dari sana paradigma soal penegendalian karhutla juga akan berubah sesuai perkembangan. 

Meski tanggung jawab bersama, namun kata Hendroyono, pemerintah tetap terus menerus melakukan asistensi dan monitoring  dalam pengelolaan ekosistem gambut. Misalnya soal tatakelola air setelah dilaksanakan pilot project  di Kalimantan Barat serta riset lapangan di arel kerja beberapa pemegang izin di Sumatera, termasuk Riau.

Sementara itu Direktur Pengendalian Karhutla KLHK, Raffles B Panjaitan menyoroti perubahan paradigma dalam penanganan karhula.  Para pihak, kata Raffles, harus paham tugas pokok dan fungsi (tupoksi).

"Problem sinkronisasi pencegahan kebakaran lahan dan hutan masing-masing ada tupoksinya. Di tingkat bawah hal ini kadang-kadang menjadi kendala karenaketidaksepahaman," ungkapnya.

Karena itu kata Raffles, pemerintah kemudian ditingkat bawah melibatkan masyarakat dengan program Patroli Terpadu Tingkat Desa. Dalam Patroli Terpadu ini dilibatkan kepala desa, Babhinkamtibmas, tokoh masyarakat dan LSM.

"Mereka masing-masing di beri honor Rp150 ribu per hari dan bertugas mengontrol lingkungan sekitar mereka. Dengan cara ini bisa meminimalisasi potensi kebakaran," ungkapnya.

Pembicara ketiga, Profesor Bambang Hero Saharjo menyentil akademisi dan sebagian tokoh di Riau yang permisif terkait isu kebakaran hutan ini. Ia kembali menyoal soal paradigma.

" Mereka mengatakan, membakar itu tidak merusak. Lha, kalau tidak merusak kenapa kita ribut selama ini?" gugat pakar yang pernah digugat oleh pelaku pembakar lahan, PT Jatim Jaya Perkasa sebesar Rp510 miliar ini.

Bambang Hero juga memaparkan bagaimana bahaya racun yang dikeluarkan asap karhutla bagi kesehatan manusia. Racun-racun tersebut sangat berbahaya bagi ibu hamil karena bisa menimbulkan kecacatan bayi dalam kandungan.

Ia sempat menceritakan peristiwa memilukan pada 2015 lalu di mana seorang anak meninggal di pangkuan bapaknya karena  kekurangan oksigen akibat kabut asap karhutla.

Bambang Hero mengaku heran dengan jawaban pemerintah dalam kasus karhutla di Rupat, dimana pemerintah menyebut bahwa yang terbakar adalah lahan masyarakat.

"Pertanyaannya, masyarakat yang mana? Tidak masuk akal kalau masyarakat memiliki lahan produksi yang sangat luas," kata guru besar IPB yang sudah 20 tahun bertungkus lumus ikut mengurus karhutla Riau.

Semua narasumber sepakat bahwa isu karhutla harusnya menjadi isu semua orang, baik pemerintah, pemilik konsesi, dan  akademisi mupun media.


Dewan Ngapain Saja?

 Dalam sesi tanya jawab, sentilan menggelitik sempat muncul dari Luzi Diamanda, wartawati senior dari klikriau.com. Luzi menyentil Anggota DPRD Riau, Bagus Santoso yang juga hadir di acara diskusi. Luzi mempersoalkan kinerja legislatif Riau terkait pesoalan karhutla yang tak kunjung tuntas.

"Kalau Mas Bagus Santoso mempersoalkan kinerja pihak KLH, terus selama ini dewan (DPRD Riau-red) ngapain saja?" usik Luzi, setelah sebelumnya Bagus Santoso lebih dahulu menuturkan keluhannya soal karhutla.

"Tanggung jawabnya ada di pusat, di kementerian. Makanya saya berteriak kepada pusat untuk meminta aksi mereka," jawab Bagus. (koranmx) 


[Ikuti Wawasanriau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar