Poto Ilustrasi
Sebagai regulator tubuh, otak mengalami perubahan besar ketika kita mengalami peristiwa jatuh cinta maupun patah hati. Berdasarkan sejumlah penelitian, jatuh cinta dan patah hati memiliki efek yang serupa dengan mengonsumsi zat adiktif.
Jatuh cinta dan patah hati? Siapa yang belum pernah merasakannya? Hampir semua orang pernah mengalami salah satunya atau bahkan keduanya. Richards Scwhartz dari Harvard Medical School mengungkapkan jatuh cinta dan patah hati merupakan respons biologis yang alami sebagai seorang manusia. Oleh karenanya, pengalaman tersebut sangat memengaruhi seluruh bagian tubuh manusia, khususnya pada bagian otak yang berperan sebagai regulator tubuh.
Nah apa yang terjadi pada otak kita ketika kita sedang jatuh cinta?
Pat Mumby, Direktur The Loyola Sexual Wellness Clinic dan pengajar di Loyola University Chicago Stritch School of Medicine memaparkan bahwa ketika kita sedang jatuh cinta, tubuh kita melepaskan senyawa kimia seperti dopamine, adrenaline, dan norepinephrine yang dapat menimbulkan reaksi tubuh tertentu. Senyawa tersebut merupakan penyebab dari tubuh seperti pipi yang bersemu merah, keringat pada telapak tangan, dan debar jantung yang menggebu-gebu.
Dalam penelitiannya pada tahun 2005, Helen Fischer seorang ahli antropologi biologis, membandingkan hasil pemindaian otak sebanyak 2.500 mahasiswa saat melihat dua jenis gambar, yakni orang yang mereka sukai dan kenalan biasa. Hasilnya menunjukkan adanya aktivitas peningkatan hormon dopamine pada bagian otak, yang mana merupakan neurotransmitter yang menghantarkan perasaan bahagia. Bagian otak yang menunjukkan aktivitas tertinggi adalah bagian caudate nucleus yang menjadi pusat untuk ekspektasi akan suatu kepuasan, dan ventral tegmentalyang dikenal sebagai pusat rasa bahagia, rasa perhatian, dan motivasi untuk memperoleh kebahagiaan.
Selain kedua bagian tersebut, bagian otak lain yang juga berkaitan pada peristiwa jatuh cinta adalah amygdala, hipocampus, dan prefrontal cortex. Jika diibaratkan, jatuh cinta dapat menimbulkan efek sama seperti dari perilaku penggunaan kokain atau konsumsi alkohol. Selain itu, yang menarik adalah peningkatan level hormon kortisol atau hormon stress yang menginduksi perilaku obsesi pada masa awal jatuh cinta.
Kemudian bagaimana proses yang terjadi di otak ketika patah hati?
Apabila pengalaman jatuh cinta yang dilalui oleh seseorang dianggap menimbulkan efek yang sama seperti mengkonsumsi kokain, maka patah hati dapat dianalogikan seperti pecandu yang berhenti mengkonsumsi zat adiktif apapun.
Ketika seseorang kehilangan cinta, seketika tubuh akan kehilangan neurotransmitter pengantar perasaan bahagia yang mulanya banyak membanjiri tubuh. Rasa sakit yang muncul pada saat patah hati bukan hanya sekadar rasa sakit emosional, namun juga fisik. Secara ilmiah patah hati, perasaan dicampakkan, dan kekecewaan mengaktifkan bagian otak yang merespons rasa sakit pada bagian tubuh meski tidak ada luka fisik.
Pada tahun 2011, Edward seorang ahli neurologi kognitif dari Columbia University melakukan pemindaian pada otak orang-orang yang baru saja mengalami patah hati. Hasil pemindaian membuktikan bahwa bagian paling aktif dari otak ketika seseorang melalui proses patah hati adalah bagian otak yang sama dalam merespon rasa sakit yang terjadi saat terdapat luka fisik pada tubuh.
Bagi otak kita, rasa sakit akibat patah hati adalah sangat nyata. Maksudnya adalah, otak kita tidak dapat segera memproses peristiwa sakit hati, sehingga berkurangnya hormon dopamine tersebut diartikan sebagai kesakitan fisik dan kelelahan.
Patah hati juga menyebabkan bagian prefrontal cortex seseorang menjadi tidak berfungsi, yang berpengaruh pada kemampuan untuk menganalisis informasi secara objektif. Ketika dihadapkan pada kondisi ini, otak akan memasuki kondisi panik dan, tubuh akan dibanjiri oleh hormon stress seperti kortisol dan epinephrine yang mengakibatkan kram, sakit kepala, nyeri dada, dan kelelahan. Terkadang kondisi ini bertahan cukup lama bergantung pada seberapa cepat orang tersebut untuk “move on”.
Namun kabar baiknya, otak kita terprogram untuk dapat beradaptasi dengan kondisi ini sehingga seiring berjalannya waktu kita terutama otak dapat menyesuaikan diri dan otak tahu bagaimana melakukannya.
Sumber : Gird.id