Lancang Kuning

Kantongi JC Dari Kejari Rohil, Suhermanto Minta Bantuan Bupati Suyatno

Bupati Rohil H Suyatno

BAGANSIAPIAPI,WAWASANRIAU.COM - Perjuangan Suhermanto (41) eks oknum Aparatur Sipil Negara (ASN) yang terjerat kasus korupsi rekening Gendung Mantan Kepala Bappeda Rohil, Drs H Wan Amir Firdaus belum berakhir. Hingga saat ini masih berjuang di Mahkamah Konsitusi (MK) dan ternyata kini sudah memiliki surat Justice Collaborator (JC) dari Pihak Kejaksaan Negri Rokan Hilir.

Untuk itulah ia sangat berharap bantuan perjuangan Bupati Rohil H.Suyatno terkait permasalahan yang dihadapinya. "Pak Bupati kami hanya korban jangan sampai anak istri kami teraniaya seumur hidup, kami tengah berjuang mohon dukung kami," kata Suhermanto, Jumat (4/1/2019) di Bagansiapiapi. 

Hal ini terkait Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga mentri tentang pemberhentian tidak dengan hormat (PDTH) eks napi korupsi yang menimbulkan dilema pemerintah daerah untuk mengeluarkan surat pemecatan karena berbagai pertimbangan.

Suhermanto menjelaskan bahwa JC yang ia terima pada Februari 2017 lalu hendaknya juga menjadi pertimbangan Bupati, Pihak Kejaksaan untuk disampaikan ke pusat karena sudah membantu pihak penegak hukum mengungkap kasus yang sudah dijalaninya dengan baik. "Kami mengaku salah dan telah mengungkap sejelas-jelasnya saat itu, mudah-mudahan bisa menjadi pertimbangan untuk kami yang tidak menerima dan menikmati sepeserpun kerugian negara," katanya.

Bahkan ia mengakui sudah menemui pihak kejaksaan dalam hal ini Kepala Seksi Pidana Khusus (Pidsus) Kejari Rohil, Mochtar Arifin menyampaikan hal tersebut. Untuk sementara memang akan dipelajari dahulu dan selanjutnya akan disampaikan bagaimana hasilnya.

Memang jika dilihat bagi Napi yang menerima JC ini dalam aturan sangat membantu baik Jaksa Penuntut Umum (JPU) maupun hakim dalam satu perkara sehingga bisa diselesaikan dengan tuntas. JC atau pelapor tersangka adalah saksi yang juga sebagai tersangka dalam kasus yang sama.  Saksi seperti ini  juga biasa disebut  “saksi mahkota”, “saksi kolaborator”, dan “kolaborator hukum.”

Pasal 10 ayat (2) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban mengatur  hubungan antara kesaksian justice collaborator dan hukuman yang diberikan. Pasal ini berbunyi “Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat meringankan pidana yang akan dijatuhkan terhadapnya.”

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tidak memberikan panduan untuk menentukan kapan seseorang dapat disebut sebagai pelaku yang bekerjasama; pihak yang menentukan bahwa seorang pelaku telah bekerjasama; ukuran kerja sama seseorang yang mengaku sebagai pelaku bekerjasama atau ukuran penghargaan yang akan diberikan.

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tidak memberikan panduan untuk menentukan kapan seseorang dapat disebut sebagai pelaku yang bekerjasama; pihak yang menentukan bahwa seorang pelaku telah bekerjasama; ukuran kerja sama seseorang yang mengaku sebagai pelaku bekerjasama atau ukuran penghargaan yang akan diberikan.

Pada 2011 Mahkamah Agung mengeluarkan Sema (Surat Edaran Mahkamah Agung) tentang justice collaborator dan whistleblower yang diharapkan menjadi pegangan hakim dalam memutus perkara.

Dalam Sema No.4/2011 tersebut justice collaborator disebutkan sebagai salah satu pelaku tindak pidana tertentu –bukan pelaku utama kejahatan-  yang mengakui kejahatan yang dilakukannya, serta memberikan keterangannya sebagai saksi dalam proses peradilan. 

Tindak pidana tertentu yang dimaksud SEMA adalah tindak pidana korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang, maupun tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisir. Sehingga, tindak pidana tersebut telah menimbulkan masalah dan ancaman serius bagi stabilitas dan keamanan masyarakat.(rpz/zmi)


[Ikuti Wawasanriau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar