Gagasan

Ketika Para Koruptor Bisa Jadi Pemimpin di NKRI, Apa Sebabnya?

ilustrasi

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapakan Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari sebagai tersangka, Selasa (26/9/2017). Politisi Partai Golkar itu diketahui memiliki harta dalam jumlah besar. Dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang dipublish dalam situs acch.kpk.go.id, Rita melaporkan harta miliknya senilai lebih dari Rp 236 miliar. Laporan terakhir yang disampaikan Rita pada 29 Juni 2015.

Rita memiliki harta tidak bergerak berupa tanah dan bangunan senilai Rp 12 miliar. Harta tersebut terdiri dari 54 tanah dan bangunan yang sebagian besar berada di Kabupaten Kutai Kartanegara. Kemudian, Rita memiliki harta tidak bergerak berupa 10 alat transportasi dan kendaraan senilai total Rp 2,8 miliar. Beberapa kendaraan yang dilaporkan yakni, BMW tahun 2009 senilai Rp 600 juta. Kemudian, VW Caravelle tahun 2012 senilai Rp 800 juta.

Selain itu, Rita memiliki perkebunan kelapa sawit seluas 200 hektar senilai Rp 9,5 miliar. Kemudian, tambang batu bara seluas 2.649 hektar senilai Rp 200 miliar. Tak hanya itu, Rita juga memiliki harta bergerak berupa logam mulia, batu mulia dan benda-benda lainnya senilai Rp 5,6 miliar. Kemudian, giro dan setara kas lainnya senilai Rp 6,7 miliar dan 138. 412 dollar Amerika Serikat. Adapun, total harta yang dilaporkan Rita adalah senilai Rp 236.750. 447. 979 dan 138. 412 dollar AS.

Kenapa Para Koruptor Bisa Menjadi Pejabat

Kasus Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari yang ditetapkan sebagai tersangka hanyalah salah satu dari sekian banyak pejabat publik yang tertangkap KPK. Belum lama ini dan masih hangat beritanya di tengah-tengah kita, Walikota Cilegon Iman Ariyadi juga ditangkap KPK. Satu pertanyaan yang mungkin terlintas di kepala kita semua; kenapa para koruptor bisa menjadi pejabat atau petinggi di NKRI?

Jawabannya cuman satu, sebab yang memilihnya juga berjiwa dan berwatak koruptor.

Kita sebagai rakyat, seringkali rela menjual suara kita dengan harga yang murah kepada manusia-manusia “tamak kuasa” agar mereka bisa menjadi pejabat di wilayah yang mereka mencalonkan diri disana. Amplop berisikan 50 ribu sampai 100 ribu cukup untuk membuat kita menutup mata tentang siapa yang sebenarnya layak menjadi pemimpin. Padahal dengan uang segitu, paling sehari juga sudah tidak bersisa. Sedangkan derita yang harus kita tanggung akibat menjual suara dengan harga murah adalah selama 5 tahun. Itupun kalau kita nantinya sadar. Kalau tidak, lanjut lagi deritanya dengan memilih pemimpin sesuai pesanan amplop.

Kita tumbuh dalam jiwa-jiwa yang sudah berkarakter “korupsi”. Ia adalah virus. Anak yang baru saja lahir, jikalau tidak di “vaksin” sama orangtuanya dengan ajaran-ajaran yang benar dan baik, maka virus korupsi itu akan masuk ke dalam tubuhnya dan menjadi darah dagingnya. Makanya, tidak heran jikalau korupsi itu sudah menjadi sistem di negara kita, kata Rosihan Anwar (almarhum), yag diwariskan oleh kolonial Belanda yang masih kita jaga dengan baik sampai sekarang ini.

Artinya apa?

Jikalau kita ingin bebas dari korupsi, maka mentalnya harus diubah dulu. Warisan penjajah Belanda jangan digunakan lagi. Cukup itu menjadi cerita masa lalu. Apa artinya teriak “merdeka” jikalau jiwa dan mental terjajah.

Dan… Munculnya pejabat-pejabat korup itu karena yang memilihnya juga berjiwa korup. Dan itulah kita, sebagian besar rakyat Indonesia. Jikalau kita tidak mau berubah, kapan lagi?!
Jangan sampai penyakit itu kambuh dan kambuh lagi setiap kali pemungutan suara…

Saya jadi ingat sabda Nabi Saw yang maknanya, sebagaimana kalian maka seperti itulah pemimpin kalian.
Jikalau kita berwatak dan berjiwa korupsi, ya para pemimpinya juga para koruptor. Jikalau watak dan jiwa kita sudah baik, maka Insya Allah pemimpin kita juga akan baik.

Sadarlah…

Tabik
Denis Arifandi Pakih Sati

Sumber: detik.com


[Ikuti Wawasanriau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar