Lancang Kuning

Ritual Bakar Tongkang Tradisi Memuja Dewa Laut Yang Mendunia

Reflika kapal Tongkan dibakar sebagai bentuk Pemujaan Bagi DewaLaut

WAWASANRIAU.COM - Ritual bakar tongkang yang diselenggarakan warga etnis tonghoa di Bagansiapiapi, Provinsi Riau, setiap bulan Juni, menurut warga Etnis Tionghua Rokan Hilir memiliki makna tersendiri bagi penganut ajaran agama budha ini. Para leluhur yang terdahulu menemukan Bagansiapiapi bertekad untuk tidak kembali ketempat asal dan ingin menetep ditempat perantauan dengan cara membakar kapal tongkang yang mereka gunakan semasa berlayar dari sehingga menemukan daratan yang dinamai baganapi hingga berkeinginan untuk tinggal selamanya.

Makna dari pembakaran kapal adalah upacara peringatan atas dewa laut Ki Ong Yan dan Tai Su Ong yang merupakan sumber dari dua sisi, yakni antara sisi baik dan sisi buruk, suka dan duka, serta rejeki dan malapetaka. Dari kepercayaan etnis Tionghua Bagansiapiapi bahwa dewa telah membawa para lelulur dengan selamat hingga sampai dan menetap di Kota Bagansiapiapi, akibat terjadinya perang saudara di Tiongkok beberapa ratus tahun lalu.

 

Inti terpenting dalam peringatan bakar tongkang yakni suksesnya para leluhur membawa keluarga mereka menetap di daerah perantauan hungga sampai saat ini. bakar tongkang atau dalam istilah Tionghua dengan sebutan "go ge cap lak" dapat diartikan dengan 15-16 bulan 5 penangalan Imlek. Atas dasar itu tradisi bakar tongkang wajib dan harus dilaksanakan setiap tahunnya.

Manfaat yang didapat warga Tionghoa dalam perayaan ini menurutnya adalah kesuksesan dalam meniti hidup dan kehidupan. Dalam kepercayaan yang dianut jika acaranya tidak diikuti maka hidup seperti kekurangan tanpa arah serta tujuan, selain itu kesuskesan yang diraih tidak akan ada artinya.

Sejarah Bakar Tongkang
Bermula dari tuntutan kualitas kehidup yang lebih baik lagi, sekelompok orang Tionghoa dari Provinsi Fujian - China, merantau menyeberangi lautan dengan kapal kayu sederhana. Dalam kebimbangan kehilangan arah, mereka berdoa ke Dewa Kie Ong Ya yang saat itu ada di kapal tersebut agar kiranya dapat diberikan penuntun arah menuju daratan.

Tak lama kemudian, pada keheningan malam tiba-tiba mereka melihat adanya cahaya yang samar-samar. Dengan berpikiran di mana ada api disitulah ada daratan dan kehidupan, akhirnya mereka mengikuti arah cahaya tersebut, hingga tibalah mereka di daratan Selat Malaka tersebut.

Mereka yang mendarat di tanah tersebut sebanyak 18 orang yang kesemuanya bermarga Ang, di antaranya : Ang Nie Kie, Ang Nie Hiok, Ang Se Guan, Ang Se Pun, Ang Se Teng, Ang Se Shia, Ang Se Puan, Ang Se Tiau, Ang Se Po, Ang Se Nie Tjai, Ang Se Nie Tjua, Ang Un Guan, Ang Cie Tjua, Ang Bung Ping, Ang Un Siong, Ang Sie In, Ang Se Jian, Ang Tjie Tui.

Kelompok Marga Ang ini kemudian diyakini mendapat petunjuk Dewa Kie Ong Ya dan Dewa Tai Sun berupa cahaya api yang tampak dari jauh. Namun ternyata setelah didekati cahaya tersebut berasal dari cahaya ribuan kunang-kunang.

 

Kemudian kelompok marga Ang yang berjumlah 18 orang tersebut memutuskan untuk menetap di pulau yang dipenuhi Kunang-Kunang Api tersebut. Tempat tersebut kemudian diberi nama dan dikenal dengan sebutan Bagansiapiapi.

Tradisi ini merupakan bentuk pemujaan terhadap dewa laut yang setiap tahunnya dirayakan oleh masyarakat tionghua tempatan dan hingga sekarang menjadi suatu budaya yang dilestarikan oleh masyarakat etnis serta didorong dengan pelestarian budaya melalui oleh pemerintah Kabupeten Rokan Hilir hingga saat ini Rituan Bakar Tongkan ini menjadi budaya yang mendunia dan masuk dalam 10 besar tardisi budaya di Indonesia terutama di Riau.

Puncak acara Ritual Bakar Tongkang biasanya diawali dengan prosesi sembahyang dan kemudian kapa yang terbuat dari bambu tersebut dikeluarkan dari tempat pembuatannya kemudian disemayamkan selama satu hari sebelum mengarak kapal Tongkang menuju tempat pembakaran dengan mengarakkan tongkang keliling kota Bagansiapiapi sebelum dibakar.

Festival Bakar Tongkang telah masuk dalam kalender wisata Nasional. Tahun ini acara tersebut digelar pada 20-21 Juni 2016. Sebelum memasuki puncak acara pembakarang tongkang, Kota Bagansiapi-api dipenuhi dengan ornamen khas Tionghoa.

Etnis Tionghoa dari berbagai wilayah Indonesia dan mancanegera seolah pulang kampung demi menyaksikan pertunjukan ini. Tradisi ini memang menjadi napak tilas kehadiran bangsa Tionghoa ke Indonesia.

Sebelum acara puncak biasanya etnis Tionghoa dari berbagai wilayah datang untuk melakukan sembahyang di Kelenteng In Hok Kiong di kawasan Pekong Besar, Kota Bagan Siapiapi. Sembahyang pertama dikenal dengan nama sembahyang, hio-hio (dupa) raksasa mulai dibakar, kemudian sesembahan seperti buah-buahan, daging babi, ikan atau ayam mulai disusun di atas altar. Ini dilakukan malam hari sebelum prosesi pembakaran Tongkang.

 

Sembahyang ini dilakukan sampai menjelang kapal atau Tongkang dijemput dari tempat pembuatannya. Siang harinya Tongkang dijemput dari lokasi pembuatan menuju Kelenteng In Hok Kiong dan melewati jalanan Bagansiapiapi. Tentu tidak hanya arakkan Tongkang, karena akan banyak atraksi Barongsai dan dan berbagai tabuhan mengiringi arak-arakan tersebut.

Sampainya di Kelentang In Hok Kiong tongkang terlebih dahulu disemayamkan dan aktivitas di sana ditutup. Hal ini dipercaya agar Dewa Kie Ong Ya menjamu dewa-dewa lainnya untuk menikmati shingle yang telah disiapkan para peziarah.

Setelah itu acara dilanjutkan dengan peresmian Tongkang oleh ahli gaib yang biasa dipanggil Tang Ki. Barulah Kelenteng kembali dibuka untuk kembali melakukan sembahyang. Pada malam harinya digelar berbagai hiburan untuk memeriahkan suasana.

Siang harinya, barulah dimulai pembakaran tongkang. Utusan dari berbegai Kelenteng di Bagansiapiapi dipersiapkan untuk mengangkat tongkang. Setiap rombongan membawa ahli gaib atau Tang Ki plus perlengkapan atraksi debus. Setelah seluruh pengarak Tongkang berkumpul di halaman kelenteng In Hok Kiong, maka iring-iringan segera menuju arena pembakaran tongkang di Jalan Perniagaan, Bagansiapiapi. Puluhan ribu peziarah mengikuti arak-arakan ini.

Biasanya arak-arakan akan dimulai pada pukul 2 siang dengan diangkat oleh ratusan orang yang berpakaian khusus. Kemeriahan acara ini terlihat ketika arak-arakan dimulai melintasi Kota Bagansiapi-api. Terlebih dengan suara mercun yang membuat suasana semakin gaduh. Ternyata setiap warga di sana juga mempersiapkan dupa dan sesembahan di halaman rumahnya masing-masing.

Sebelum pembakaran maka terlebih dahulu harus menentukan posisi haluan Tongkang sesuai petunjuk Dewa Kie Ong Ya yang menurut filosofi mereka adalah petunjuk arah rezeki atau kebaikan untuk usaha dan keselamatan masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi.

Apabila tiang jatuh ke laut, maka mereka percaya jika rezeki dan keselamatan tahun ini akan berada di laut. Namun, bila tiang jatuh ke arah darat, maka rejeki dan keselamatan akan berada di darat. Setelah mengetahui arahnya, maka Tongkang diletakkan dan kertas sesembahan ditimbunkan dekat lambung kapal yang sedang dibakar. Ribuan orang memenuhi arena pembakaran Tongkang. Masing-masing tampak memegang dupa. Tidak lama, api sudah berkobar menjadi besar.

Api mulai mulai menyala dan membakar badan tongkang sekitar pukul 16.00 WIB. Tak butuh waktu lama hanya berselang sekitar 20 menit api menghanguskan habis seluruh badan tongkang. Ribuan pasang mata tetap menunggu dan menyaksikan si jago merah melahap seluruh badan tongkang. Mereka menunggu arah jatuhnya tiang layar yang mereka yakini sebagai petunjuk sumber rezeki.


Tepat pukul 16.30 WIB, tiang layar terakhir jatuh mengarah ke laut. Berdasarkan kepercayaan masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi, rezeki satu tahun ke depan lebih banyak dihasilkan dari hasil laut.

warga tionghua yang menyaksikan jatungnya tiang layar kelaut sambil berteriak "Hoyaaaaa" dan ini merupakan petanda tahun ini banyak rezeki dilaut.

Karena popularitasnya tradisi tahunan ini berhasil masuk menjadi salah satu nominasi "Anugerah Pesona Indonesia" untuk kategori festival budaya terpopuler. (Adv/Pemkab Rohil)


[Ikuti Wawasanriau.com Melalui Sosial Media]




Tulis Komentar